Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Atur Kata-kata : Untuk Hidup Sesuai Keinginan





Commitment is an ACT not a WORD -Jean-Paul Sartre

Apa kabar kata?
Hanya 7% verbal atau word (kata-kata) memiliki peran dalam keseluruhan komunikasi. Tapi ada gestur dan intonasi yang juga memiliki peran yang lebih besar di dalam proses untuk memberikan informasi. Baik komunikasi terhadap orang lain atau diri sendiri.

Apakah ada berkomunikasi dengan diri sendiri? Tentu saja ada. Kita melakukannya setiap hari, di sadari atau tidak. Komunikasi merupakan kebutuhan untuk mengkonfirmasi rasa yang kita miliki.

Untuk itu, tidak sembarangan juga dalam memilih kata-kata. Karena kata-kata berpengaruh terhadap sebuah situasi yang bisa menyebabkan enak dan tidak enak. Nyaman atau tidak nyaman. Namun, jauh lebih penting dari itu, action atau aksi adalah rangkaian yang membuktikan bahwa kata semakin memiliki makna.

Itu sebabnya komitmen seorang muslim di dahului oleh syahadat. Yang dengan barisan kata-kata tersebut, paman nabipun berpikir berulang-ulang untuk menyambutnya. Karena apa? Ada komitemen (act) di dalamnya.

Dan ternyata ada tehnik untuk membuat keadaan hati dari tidak enak menjadi enak. Lebih nyaman saat menghadapi peristiwa yang menjengkelkan. Dimana keadaan yang kita rasakan tapi dampaknya membuat kita kecewa. Atau ada yang membuat kita tidak paham dengan kejadian-kejadian tersebut.

Mungkin, karena kita adalah manusia yang cenderung tidak memiliki pemahaman maksimal. Sehingga dengan ilmu seadaannya menyimpulkan sesuatu yang justru membuatnya hati semakin keruh dan kesal. Bahkan mempengaruhi orang-orang di sekitar kita.

Dalam buku Hearty Service (Service itu ada di sini) karya Agni S. Mayangsari, membahas soal reframing. Yaitu membuat frame ulang terhadap apa yang kita hadapi. Khususnya hal-hal yang tidak menyenangkan. Kondisi memilih reaksi terhadapnya. Karena akan banyak reaksi terhadap kejadian. Pikiran manusia ibarat kamera. Ia hanya memotret sesuatu yang masuk dalam area lensanya. Area yang kita fokuskan padanya. Inilah yang disebut dengan frame.

Kita membingkai pristiwa sehingga dari situ kita menemukan makna. Konteks reframing dari peristiwa yang menjengkelkan dengan mengemas dalam pikiran kita melalui kata-kata positif. Peristiwanya tetap sama, hanya kita memperoleh makna baru yang akan mempengaruhi reaksi kita selanjutnya. Dan tentu saja pikiran kita.

Praktek reframing ini diperlukan dengan latihan berulang-ulang terhadap peritiwa yang hadir dalam hidup, baik terduga atau tidak terduga. Dan mengkoleksi kata-kata positif diperlukan, sehingga saat kita membutuhkan, dengan mudah kita mengambilnya.