Bagaimana kalau (anak) kita tidak dapat membaca?
Saya menemukan buku di Gramedia kelapa gading, judulnya The man who forgot how to read, peneribitnya PT. Elex Media Komputindo, cerita di buku tersebut adalah true strory dari seorang pengarang cerita detektif bernama Howard Engel yang tiba-tiba di suatu pagi tidak lagi mampu membaca aksara pada surat kabar di tangga masuk rumahnya. Hal tersebut terjadi karena dia mengalami stroke dan mengalami kondisi langka yang di sebut alexia sine agraphia.
Menjadi menarik buat saya, mengapa saya
membeli buku tersebut, saya hanya membayangkan bagaimana rasanya kalau bagi
kita tidak mampu lagi merangkai huruf atau tidak mampu mengenali huruf-huruf
menjadi sebuah informasi. Yang terlihat justru tulisan yang mirip dengan
tulisan kuno, yang tidak pernah kita kenal sama sekali. Buat saya, sangat
menyedihkan. Apalagi, kalau membaca adalah sebuah kesenangan.
Bisa mambaca adalah
penting
Bisa membaca itu penting, maksudnya membaca
huruf-huruf yang dirangkai menjadi kalimat dan bisa menerjemahkan menjadi
informasi yang bisa kita cerna. Bagi saya, dengan membaca saya mampu melihat
dunia lebih luas dibandingkan tempat yang saya pijak, maka terima kasih tidak terhingga buat yang
berjasa mengajari kita membaca.
Melihat masa lalu lagi, bagaimana saya belajar
membaca. Saya mulai mengenal huruf pada saat saya sekolah dasar. Saat kelas
satu, saya belum benar-benar bisa membaca, kelas 2 saya membaca baru dengan
mengeja, jadi saat itu membaca adalah
‘siksaan’ karena saya belum dapat manfaat membaca. Bermasalah dengan membaca membuat saya tidak
‘lancar’ pula mengikuti pelajaran. Dan Alhamdulillah keadaan ini bukan terjadi
pada saya saja, beberapa teman sekelas juga. Bukan artinya saya membela diri
kalau saya adalah murid yang paling bodoh. Pada saat itu, membaca dan belajar
membaca dimulai saat sekolah dasar. Dan kurikulum saat itu belum seberat tahun
sekarang . Sahingga saya masih bisa enjoy dengan masa sekolah saya dahulu.
Kapan
belajar membaca
Di tempat saya bekerja, di sebuah lembaga
penyelenggara pendidikan sekolah dasar, walaupun
saya bukan guru, saya sering di sodori pertanyaan dari calon orang tua murid
yang menanyakan apakah membaca adalah syarat untuk masuk sekolah dasar. Memang,
dimana tempat saya bekerja, membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG), bukan
menjadi syarat untuk masuk sekolah dasar kita. Hanya kematangan dan siap
sekolah menjadi syaratnya. Biasanya, wajah calon orang tua tersebut terlihat
lega, mungkin di karenakan anaknya yang masih TK itu belum bisa membaca lancar.
Informasi dari mereka juga, banyak sekolah
yang menyaratkan tas Calistung menjadi dasar di terima di sebuah sekolah. Walaupun
saat ini, sudah ada larangan tes semacam itu bagi siswa masuk sekolah dasar. Maka berlomba-lombalah sekolah Taman Kanak-kanak untuk mencetak anak
bisa membaca, dan mengabaikan faktor psikologis anak atau pembentukan karakter
siap sekolah dasar.
Sebaliknya, bagi guru menjadi dilema
tersendiri, jika seorang anak belum bisa
membaca saat masuk sekolah dasar, adalah mengimbangi beban kurikulum yang
menurut saya semakin berat. Sehingga bagi guru kelas satu, menjadi kendala
sendiri dan perlu ekstra waktu dan taktik menangani kelemahan ini. Apalagi,
mengajari bahasa inggris pada siswa yang baru beradaptasi dengan sekolah dasar,
yang isinya bukan sekedar main seperti di sekolah taman kanak-kanak, ada target
kurikulum.
Pada usia prasekolah,
mempersiapkan anak dengan memberikan stimulus atau rangsangan motorik untuk
kemampuan berbahasa adalah factor yang penting. Dengan berbahasa, sang anak
akan mampu menyampaikan apa yang ia rasakan atau memahami kesepakatan dalam
memulai belajar.
Di kota-kota besar, para orang tua yang
memiliki kemampuan ekonomi lebih
atau terlalu sibuk untuk memberikan perhatian , akan
berusaha keras mengejar ketertinggalan, namun semua itu tergantung juga dengan
kemampuan sang anak, yang menurut saya usia mereka masih usia bermain.
Apalagi, melihat jauh dipelosok negeri ini, atau daerah terpencil, yang sekolah
menjadi barang mahal. Baru bisa membaca pada kelas empat atau lima sekolah
dasar, adalah hal yang lumrah. Mengingat sekolah adalah barang mahal dan minat
untuk kesana juga tidak banyak. Sedangkan fasilitas dan guru berkualitas jarang
ditemui di sana. Tapi kurikulum yang diterapkan seluruh nusantara adalah sama.
Apakah yang salah dengan keadaan ini? Saya
sendiri masih belum paham, selama ini saya masih menjadi sosok pengamat saja,
karena saya bekerja lekat dengan dunia pendidikan. Hanya kadang-kadang
mengendap saja dalam pikiran, makanya tulisan ini terbit.
Bagaimana
membuat anak-anak tertarik belajar membaca
Sebagai orang dewasa, tentu mengerti bagaimana
proses belajar. Hal yang utama dalam mudahnya kita belajar adalah daya tarik
kita pada sebuah ilmu. Demikian pula dengan anak-anak, dengan membuat mereka
tidak terpaksa untuk belajar membaca, membuat proses tersebut menjadi mudah.
Mungkin hal ini dapat dicoba adalah menanamkan di benak mereka bahwa membaca
sama asiknya dengan bermain. Atau seringlah bacakan dongeng dengan buku berada
ditangan kita, yang ceritanya bersambung, sehingga timbul penasaran kalau
dongeng tersebut kita bacakan terpenggal. Sehingga mereka tertarik untuk
mencari tahu bagaimana cara membaca.
Trik lainnya, kenalkan mereka dengan beragam
buku. Kalau mereka menyukai komik, biarkan dulu. Karena dalam komik juga ada
aksaranya. Awalnya saya sangat menyukai membaca karena dahulu ayah dan ibu saya
suka membelikan majalah BOBO, yang menurut saya menarik dari segi warna dan
cerita dongengnya. Soal anak nanti
memiliki kecenderungan jenis bacaan, itu kita pikirkan nanti.
Harapan saya, semoga anak-anak Indonesia mampu
untuk membaca. Tapi tidak juga, membuat belajar membaca menjadi monster yang
menakutkan buat mereka. Dunia mereka tetap bermain, selami dunia mereka.
Walaupun sebenarnya, dunia pendidikan sekarang sepertinya kurang ramah.
Positifnya,anggaplah keadaan seperti ini
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Saatnya punya taktik dan
pilihan untuk tetap mengimbanginya, apalagi untuk anak-anak dengan transisi
dari taman kanak-kanak menuju sekolah dasar. Menyenangkan bukan, kalau
anak-anak diusia awal sekolah dasar sudah dapat membaca tapi tidak menjadikan
membaca hal yang menakutkan. Dan
wajah mereka semakin indah jika ceria.
DS, 15 November 2013
Terinspirasi dari
bincang ringan dengan ibu Nunung Hartinah, A.P dan Ibu Dariah, S.pdi (Guru
kelas 1 SDIT Ibnu Sina)