Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Taat Letnan Dua Hiroo Onoda : Perjuangan Tanpa Henti



Bilang saja saya sedang mengagumi sisi lain Letnan Dua Hiroo Onoda, seorang prajurit yang sangat memegang sebuah komitmen perintah dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.  Sudah banyak yang tahu bahwa ‘gengsi’ tinggi dari budaya Jepang membuat banyak dari orang-orang yang merasa gagal berakhir pada sebuah kematian yang hadir karena tangannya sendiri. Bunuh diri. Bahkan ada sebuah istilah harakiri. Yaitu menikam tubuhnya sendiri dalam rangka menebus rasa malu atas kegagalan.

Bagaimana dengan kisah Hiroo Onoda, mungkin sudah banyak yang tahu. Karena kalau kita cari nama tersebut di google, banyak yang menceritakan tentang kisah letnan dua tersebut. Menarik bagi saya menyelami sejarah yang menurut saya adalah bagian dari mempersatukan titik data dengan titik yang lainnya. Sehingga menjadi sebuah sejarah bisa menjadi pelajaran.

Onoda diperintahkan oleh komandannya untuk berangkat ke Filipina di sebuah pulau bernama Lubang. Kejadian itu satu tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 26 Desember 1944. Perintahnya hanya satu, mempelambat gerakan pasukan Amerika dan tidak boleh menyerah.  Sebuah misi bunuh diri, disaat Jepang yang mulai banyak mengalami kekalahan. Tapi jiwa kesatria Onoda dan pasukannya sudah teruji. Kesetiaan yang harus dibuktikan. Walau harus mati.

Hingga, saatnya benar pasukan Amerika mendarat disana. Hampir semua pasukan mati karena perlawanan tersebut, ada yang menyerah dan terbunuh. Tertinggal hanya Onoda dan 3 orang pasukan yang berhasil bersembunyi di pedalaman hutan.

Saat masa-masa itu, sungguh menarik bagi saya mencermati nilai-nilai perjuangan Onoda dan pasukannya.

1.   Onoda tetap bertahan dan terus melakukan perjuangan dengan bergrilya melawan penduduk setempat. Menyerang jalur pasokan, menembaki tentara AS dengan peralatan seadanya dengan apapun yang mereka bisa. Bagi saya ini adalah sebuah sikap pantang menyerah, tidak melihat situasi apapun. Yang ada adalah bertahan dan menyerang. Bukan hanya bertahan saja. Tapi tetap berorentasi pada tujuan Onoda di Lubang.

2.    Onoda tidak mudah percaya dengan keadaan diluar sana. Informasi-informasi yang tentunya jauh dia jangkau. Hingga ada bulan Agustus, saat bom atom jatuh di Hirosima dan Nagasaki yang menandai perang telah usai. Selebaran kekalahan tentara Jepang disebar di atas  wilayah Pasifik dianggap Onoda sebagai selebaran palsu yang hanya trik sebuah perang. Selebaran itu sama sekali tidak merubah pola pikirnya. Dan tidak ada kata menyerah buatnya. Bahkan setelah 5 tahun berlalu, Onoda masih menembaki masyarakat sekitar. Sebagai tanda bahwa perang masih berlanjut. Onoda seperti dalam sebuah kegelapan yang membuatnya menolak cahaya apapun, entah berita gembira atau sedih.

3.  Entah apa yang tidak membuat Onoda tetap pada pendiriannya. Karena pada tahun 1952 pemerintah Jepang mengambil langkah terakhir untuk menarik para prajurit dengan surat-surat dan foto-foto dari keluarga juga sepucuk surat dari kaisar.  Kesetiannya pada negara tidak juga terpengaruh. Bahkah pengaruh paling sensitifpun, yaitu keluarga. Cinta yang mungkin ia rindukan. Onoda menolak mempercayai itu dan sama sekali tidak terpengaruh oleh foto-foto tersebut. Ia masih mengira itu adalah tipu daya Amerika.

Hingga pada akhirnya pada tahun 1952, salah satu pengikut Onoda meninggal dan terbunuh oleh penduduk setempat. Ya karena, Onoda dan 3 gelintir pasukannya terus melakukan teror membuat perlawanan yang menyebabkan salah satunya meninggal.

Pemerintah Jepang dan masyarakatnya sungguh penasaran dengan kisah Onoda ini. Apakah beliau masih hidup? Dan dimana? Bahkan menjadi legenda yang menjadi cerita turun temurun. Saat Jepang sudah mengeliat bangkit usai perang yang menyakitkan. Onoda masih dengan ‘penderitaan’ perang dan bahkan sangat menikmatinya. Tidak berniat mengakhiri apalagi menyerah. Karena kesetiaan dan perintah adalah harga mati. Tidak masalah kalaupun harus mati.

Sebuah pernyataan menarik, saat Onoda yang ditemukan oleh pemuda yang sama berantakan hidupnya, nekad mencari Onoda hingga ke hutan. Di tahun 1972, Onoda mengatakan bahwa alasannya untuk bertahan adalah dia diberi perintah untuk “jangan menyerah”.

Onoda keluar dari pernyembunyiannya, melihat dunia yang begitu terang. Yang mungkin membuatnya sulit beradaptasi, karena lebih 30 tahun ia menikmati gelap dan bertahan pada sebuah perintah. Entah apa namanya, sebuah kemenangan atau kekalahan karena terlalu keras kepala.

DS, 11 Maret 2018